Model Manajemen Pesantren Adiwiyata


Selama ini pesantren identik dengan kumuh dan lingkungan yang kotor. Oleh karena itu Negara melalui beberapa kementriannya mengggalakan program demi mewujudkan lembaga pendidikan yang sehat dan bersih. Melalui Kementrian Lingkungan Hidup (LHK) pemerintah mendorong seluruh organisasi termasuk lembaga pendidikan mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam Pasal 55 Undang-Undang PPLH disebutkan lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian HAM; Pendidikan LH, akses informasi, partisipasi dan keadilan. Tahun 2004 Kementrian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama, dan Kementrian Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan pendidikan lingkungan hidup (Djamin, 2007).

Dalam mewujudkan perilaku peduli lingkungan tidak cukup hanya dengan melibatkan satu aspek pengubah saja atau pihak tertentu saja (misalnya sekolah saja) untuk melakukan perubahan tetapi dengan mempertimbangkan semua aspek yang terlibat dan kerjasama antar semua pihak. (Rahayu, Chandrasegaran, Treagust, Kita, & Ibnu, 2011) Oleh karenanya proses evaluasi juga membutuhkan peran stakeholder, adapun peran bersifat dukungan moral maupun materil.(Germain, 1988).


Gambar menjelaskan novelty penelitian. Faktor sukses kritikal pelaksanaam manajemen pesantren Adiwiyata mengacu pada apa yang harus dilakukan dan komponen manajemen pesantren. Kepemimpinan partisipatif pimpinan pesantren adalah dengan mengembangkan program dan kegiatan berbasis lingkungan hidup. Kegiatan yang dikembangkan berdasarkan norma-norma dasar dalam kehidupan yang meliputi (1) kebersamaan, (2) keterbukaan, (3) kesetaraan, (4) kejujuran, (5) keadilan, (6) kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Pemimpin selalu terdepan dalam kegiatan kebersihan sehingga memupuk nilai kerbersamaan antara pihak internal pesantren. Kemudian nilai keterbukaan, dalam perencanaan dan pengembangan konsep pimpinan selalu mengundang pihak guru dan karyawan. 

Proses manajemen pesantren adiwiyata mengacu pada fungsi manajemen, perumusan konsep, membangun konsolidasi, implementasi dan pengembangan organisasi. Dalam konteks pengembangan mencangkup pengembangan kebijakan, kurikulum, kegiatan lingkungan dan pengembangan sarana pendukung.

Pesantren yang sehat dan bersih tercermin dari perilaku masyarakat organisasinya. Perilaku tersebut terbentuk dengan pembiasaan, dan perilaku pembiasaan harus didahului dengan perubahan dalam sistem pengetahuan. Dari beberapa hasil riset, Desfandi, (2015), Mukhtar, (2020) dan Landriany, (2014) menyatakan bahwa kombinasi kepemimpinan yang efektif, harapan tinggi (partisipasi) warga sekolah, dan sistem yang stabil merupakan faktor penentu efektivitas program. 

Hasil penelitian diperkuat oleh beberapa hasil penelitian relevan yang dilakukan, diantaranya oleh Bashori (2020) yang mengungkapkan salah satu bentuk capacity building organisasi adalah melalui perbaikan sistem tata kelola, begitu juga Syamsul tata kelola dalam kategori lingkungan hidup (Bahri, 2018), sementara Safa mengemukakan pentingnya partisipasi pemimpin dalam program (Safa, 2010) dan Julie tentang lingkungan yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi (Neils et al., 1995).

Prestasi yang diperoleh pesantren dapat menginspirasi sekaligus pemutus syndrom bahwa pesantren tempat kumuh, kotor dan tidak sehat sehingga mampu merubah paradigma masyarakat bahwa pesantren tempat yang sangat representatif untuk menuntut ilmu. Walhasil Implementasi pesantren adiwiyata selaras dengan misi pesantren, yaitu tempat yang baik dan ideal tempat memperoleh ilmu pengetahuan dan berbagai norma, etika yang dapat dijadikan dasar manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup menuju kepada cita-cita pembangunan berkelanjutan.


0 Comments